Search This Blog


Monday, June 1, 2009

Sejarah Keturunan Bani Jadid


Sebagaimana telah disebutkan dalam biografi Imam Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bahwa Imam Ubaidillah hijrah bersama ayahandanya, istri dan putranya (Ismail) dan kemudian dikenal dengan nama Bashri. Hijrah pertama mereka ke Hijaz, kemudian ke Hadhramaut.

Di Hadhramaut Imam Ubaidilllah bin Ahmad dikenal sebagai seorang alim yang menjadi rujukan para ulama. Apalagi sepulangnya dari Makkah dengan membawa segudang ilmu pengetahuan. Sepeninggal ayahandanya, Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir pada tahun 345 H, Imam Ubaidillah memilih pindah dari kampung asalnya, Al-Husaysa ke kampung Sumal. Di tempat tinggal yang baru, Imam Ubaidillah membeli tanah untuk tempat tinggal dan perkebunan. Sedangkan harta benda yang berada di kampung asalnya ia hibahkan pada pembantunya, Ja’far bin Makhdam.

Setelah berdomisili di Sumal, Imam Ubaidillah mempersunting gadis setempat bernama Ummu Walad. Dari Ummu Walad inilah ia dikaruniai putra pertamanya yang dilahirkan di Hadhramaut. Putra Imam Ubaidillah ini diberi nama Jadid yang berarti baru. Disebutkan dalam Kitab Al-Masyra’ hal 31, “Nama Jadid itu sebagai isyarat bahwa ia adalah keturunan baru bagi Imam Ubaidillah setelah keluar dari Bashrah.”

Sayyid Jadid tumbuh besar dalam asuhan ayahanda serta kakaknya di kampung Sumal. Dalam usia masih belia, ia sudah hafal Al-qur’an. Selain mendapat pengajaran dari ayahanda dan kakaknya, Sayyid Jadid pun dengan tekunnya menimba ilmu dari para ulama di Hadhramaut. Setelah usianya menginjak dewasa, Sayyid Jadid pergi berkelana menimba ilmu kepada para ulama Negeri Yaman, Hijaz, Iraq, Ahsa dan Dzafar.

Dalam Al-Masyra’ hal 31 dikatakan, Imam Jadid adalah seorang alim yang mempunyai derajat tinggi, mempunyai sanad (silsilah periwayatan hadits) yang paling tinggi pada zamannya. Ia mewarisi ilmu ayahandanya serta kedua kakaknya. Imam Jadid menimba ilmu dari para ulama yang tak terhingga jumlahnya di Yaman, Haramain, Iraq, Ahsa, dan Dzafar.

Keluarga Imam Jadid Pindah ke Bait Jubair

Sepeninggal ayahandanya, Imam Ubaidillah bin Ahmad pada tahun 383 H, Imam Jadid bin Ubaidillah pindah ke kampung Bait Jubair yang terletak berdekatan dengan kota Tarim. Di tempat tinggal yang baru ini, Imam Jadid mempersunting gadis kampung setempat. Di situ pula ia menyebarkan dakwah serta mengajarkan ilmu syariah pada masyarakat setempat. Selain berdakwah dan mengajar di kampungnya, Imam Jadid juga sering menyempatkan diri berkunjung ke Tarim untuk menemui para ulama di sana untuk saling menimba ilmu pengetahuan.

Keturunan Imam Jadid Pindah ke Kota Tarim

Tidak jelas kapan keturunan Imam Jadid pindah ke Tarim. Namun ahli sejarah menyebutkan, setelah wafatnya Imam Jadid bin Ubaidillah, keturunannya berdomisili di Tarim. Dalam kitab Al-Masyra’ hal 31, disebutkan bahwa di Tarim terdapat suatu tempat yang biasa dipakai berkumpul oleh keturunan Imam Jadid. Tempat tersebut berada di masjid Bani Jadid yang dikenal dengan nama Masjid Brum. Hal yang sama disebutkan dalam Kitab Gurarul Baha Adhawi, mengutip dari kitab Al-Yaqut Atsamin.

Riwayat Hidup Sebagian Ulama Keturunan Imam Jadid

Penulis Kitab Al-Ghurar mengatakan, “Keturunan Imam Jadid sebagian besar adalah orang-orang terkenal dengan keilmuan, ketakwaan, zuhud serta wara’nya. Namun para ahli sejarah tidak menyebutkan biografi mereka, keculai tiga orang ulama ahli fiqh, yaitu:

1. Syekh Nuruddin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid

Riwayat Hidup

Syekh Nuruddin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam beberapa kitab sejarah seperti kitab karya Al-Jundy, Kitab At-Thabaqat, kitab Al-Masyra’, Kitab Al-Ghurar, Kitab Al-Iqdunnabawy. Ia dilahirkan di Hadhramaut dan meninggal dunia di Hadhramaut juga.

Syekh Nuruddin Ali sejak dini mendapat pendidikan agama dari ayahandanya serta para ulama lain di Hadhramaut. Setelah menginjak remaja, ia berkelana menimba ilmu pengetahuan dari para ulama di luar Hadhramaut. Pengembaraan Syekh Nuruddin dimulai dari wilayah utara Yaman hingga ke Haramain. Setelah sekian lama dengan tekun menimba ilmu pengetahuan dari para ulama di Makkah dan Madinah, Syekh Nuruddin meneruskan petualangannya dalam mencari ilmu. Kali ini negeri yang menjadi tujuannya adalah Iraq, kemudian India dan negeri-negeri lainnya.

Kembali ke Yaman

Setelah menjelajahi beberapa negara, Syekh Nuruddin kembali ke Yaman. Setibanya di Aden, ia kembali menimba ilmu dari Al Qadli Ibrahim bin Ahmad bin Maan Al Quraidzy. Ia mempelajari kitab karangan Al-Qadli sendiri yaitu Al-Mushtashfa min Sunani Al-Mustafa. Selain menimba ilmu dari Al-Qadli, Syekh Nuruddin juga belajar pada Syekh Mudafi bin Ahmad Al-Uyaini dan Al-Faqih Al-Khaulani di kota Al-Wajiz. Syekh Nuruddin menikah dengan putri gurunya, Syekh Mudafi’, dan kemudian menetap di kampung Dzi Duhaim.

Murid Syekh Nuruddin Ali

Di Dzi Duhaim, para pelajar berbondong-bondonglah menimba ilmu dari Syekh Nuruddin, terutama ilmu hadits. Di antara ulama yang menimba ilmu dari Syekh Nuruddin ketika ia tinggal di Dzi Duhaim adalah Syekh Al-Imam Muhammad bin Mas’ud As-Safaly, Al-Imam Abi Nashir Al-Himyari, Syekh Ahmad bin Muhammad Al-Jundy, Al-Imam Hasan bin Rasyid dan Al-Imam Syekh Muhammad bin Ibrahim Al-Fasyly.

Tentang gurunya itu, Al-Fasyly berkata, “Abu Jadid (Syekh Nuruddin) adalah orang yang dipercaya dan ia termasuk penghafal hadits.”

Kembali ke Hadhramaut


Setelah beberapa tahun menetap di Dzi Duhaim, Syekh Nuruddin kembali ke kampung halamannya di Hadhramaut. Di kampung halamannya, ia giat menyebarkan ilmu hadits dan mentahqiqnya. Ssebagian kitab sejarah mengatakan, Syekh Nuruddin adalah orang pertama yang membuang (tidak menyebut) sanad hadits dalam meriwayatkan hadits agar lebih ringkas. Ide tersebut diterima secara baik oleh para ulama, hingga banyak ulama setelahnya mengikuti jejaknya tersebut.

Di antara hadits yang diriwayatkan dari Syekh Nuruddin adalah hadits Al-Khidir ‘alaihissalam, sebagaimana dinukil oleh Al-Hafiz Askhawy dalam kitabnya, Al-Maqashid Al-Hasanah.

Syekh Nuruddin Seorang Mujtahid

Dalam kitab Syarah Al-Ayinah dikatakan, jumlah ulama yang menjadi guru Syekh Nuruddin mencapi seribu ulama. Dengan wasilah para ulama tersebut, Syekh Nuruddin mencapai derajat mujtahid. Selain itu, ia juga mempunyai sanad yang tinggi, yang tidak dimiliki oleh ulama lain di zamannya.

Karya Cipta Syekh Nuruddin

Di antara hasil karya Syekh Nuruddin adalah kitab Takhrij Arbaina Haditsan fi Fadhailul A’mal. Selain itu, ia adalah orang yang mentahqiq Nasab Syarif, serta mensyahkannya. Hal tersebut disebutkan Syekh Ba Makhramah dalam kitab Qiladatunahri fi Wafayat A’yani Ad-Dahri. Ia berkata, “Ketika Imam Ahmad bin Isa tiba di Hadhramaut, penduduk daerah itu mengakui keutamaannya serta keturunannya. Tidak ada seorangpun yang mengingkari hal itu. Kemudian pada suatu waktu, keturunan Imam Ahmad bin Isa di Tarim Hadhramaut ingin memperkuat pengakuan mereka sebagai syarif (keturunan Rasulullah SAW) dengan menelusuri bukti-bukti. Pada waktu itu, di Tarim ada sekitar 300 orang Mufti. Maka untuk membuktikan hal tersebut, berangkatlah Imam Ali bin Muhammad bin Jadid ke Iraq dan di sana ia menetapkan silsilah keturunannya dengan disaksikan oleh sekitar 100 orang adil yang akan pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Setelah itu, ia juga menetapkan silsilah keturunan Imam Ahmad di Makkah dengan disaksikan oleh banyak orang Hadhramaut yang sedang melaksanakan ibadah haji.”

Kisah Syekh Nuruddin dengan Hakim Aden

Dikisahkan dalam kitab Qiladat an-Nahr, ketika Hakim Aden Al-Mas’ud bin Kamil menahan Syekh Mudafi’ bin Ahmad pada bulan Ramadlan 617 H, ikut ditahan pula menantunya Syekh Nuruddin Ali (Abi Jadid). Keduanya lalu ditahan di Benteng Taiz sampai akhir Rabiul Awal tahun 618 H. Kemudian dikembalikan ke Aden dan selanjutnya diasingkan ke India. Namun dalam perjalanan menuju India, perahu yang ditumpangi keduanya diterjang badai, hingga keduanya terdampar di Dhafar. Kehadiran dua orang ulama yang tidak disengaja tersebut disambut gembira oleh penduduk Dzafar, dan mereka meminta keduanya menetap di sana. Namun permintaan penduduk Dzafar tersebut ditolak secara halus oleh Syekh Mudafi’ dan ia berkata, “Aku ini adalah orang yang senang berkelana.”
Ketika badai reda, keduanya, dengan ditemani beberapa orang penduduk Dzafar, berlayar ke Dinawar. Di sana mereka tinggal selama dua bulan tiga hari, kemudian kembali lagi ke Dzafar.

Syekh Nuruddin Ali Meninggal Dunia

Tidak selang berapa lama setelah kembali dari Dinawar, tepatnya pada bulan Ramadlan tahun 618 H, Syekh Mudafi’ meninggal dunia. Sepeninggal sang mertua, Syekh Nuruddin kembali ke Yaman, namun ia merasa tidak betah di daerah pegunungan. Maka kemudian ia pindah ke Tihamah, kemudian ke Mahjam dan menetap di Kampung Al-Marjaf wilayah Surdad selama beberapa waktu. Ia mengajar dan berdakwah di wilayah itu. Kemudian ia pergi ke Makkah dan meninggal di sana pada tahun 626 H.

Kisah Wafatnya Syekh Nuruddin Versi Kitab Al-Iqdun An-Nabawi

Pengarang Kitab Al-Iqdu An-Nabawi menjelaskan secara gamblang perjalanan Syekh Nuruddin hingga kewafatannya di kota Makkah. Dalam kitab tersebut penulis mengatakan, “Syarif Abu Jadid (panggilan Syekh Nuruddin) kembali ke Yaman dan menetap sementara waktu di Tihamah, kemudian Zabid dan Mahjam. Ia mengajarkan ilmu Syariah serta menyebarkan dakwah di sana. Selain itu, ia juga belajar kepada Al-Faqih Al-Kabir Ashalih Muhammad bin Ismail Al-Hadhrami. Ia kemudian pergi ke Makkah dan kembali lagi ke Yaman. Dan untuk kedua kalinya, ia pergi lagi ke Makkah dan menetap di sana hingga wafat pada tahun 620 H.

Kedudukan Syekh Nuruddin di Makkah

Di kota Makkah, Syekh Nuruddin Ali dikenal sebagai orang alim terutama dalam ilmu hadits, di samping masyhur pula dengan kewaliannya.

Harapan Penduduk Hadhramaut Agar Syekh Nuruddin Kembali ke Hadhramaut
Kepergian Syekh Nuruddin yang lama meninggalkan tanah kelahirannya Hadhramaut, membuat penduduk Hadhramaut merasa kehilangan. Mereka berharap Syekh yang terkenal dengan keilmuan, arif dan bijak tersebut sudi kembali ke Hadhramaut. Kembali mengucurkan siraman ilmunya pada para penduduk dan pelajar yang haus ilmu pengetahuan.

Kerinduan para penduduk Hadhramaut tersebut diungkapkan Syekh Al-Allamah Muhammad bin Ahmad bin Abilhub At-Tarimi dalam suratnya pada Syekh Nuruddin Ali yang menggambarkan kerinduan para penduduk Hadhramuat atas kehadiran kembali Syekh Nuruddin di antara mereka.

2. Syekh Al-Faqih Abdul Malik bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid

Sebagaimana disebutkan dalam riwayat hidup Syekh Nuruddin Ali dalam bab sebelumnya, dalam perjalanannya ia selalu ditemani oleh adiknya, Syekh Abdul Malik. Begitu pula ketika Syekh Nuruddin pergi ke Aden dan belajar pada para ulama di sana. Dan kemudian Syekh Nuruddin Ali mempersunting putri gurunya, Syekh Mudafi’, dan selanjutnya menetap di Dzi Duhaim wilayah Taiz.

Kedudukan Syekh Abdul Malik di Mata Ahli Sejarah

Tentang Syekh Abdul Malik, penulis kitab Al-Ghurar mengatakan, “Syekh Abdul Malik seorang alim, faqih, wara’, zuhud, ahli ibadah, penyabar, mumpuni dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Adapun tentang waktu dan tempat wafat Syekh Abdul Malik, tidak ada ahli sejarah yang bisa memastikan. Namun mereka bersepakat, Syekh Abdul Malik meninggal dunia lebih dulu daripada saudaranya, Syekh Nuruddin Ali. Ba Makhramah dalam Qalaid An-Nahri mengatakan, “Saya tidak tahu sejarah wafatnya Syekh Abdul Malik.” Adapun penulis Al-Ghurar mengatakan, konon Syekh Abdul Malik meninggal dunia pada tahun 614 H dengan tanpa memastikan kebenaran pendapat tersebut.

3. Syekh Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid

Riwayat Hidup Syekh Abdullah bin Muhammad

Tentang riwayat hidup Syekh Abdullah bin Muhammad para ahli sejarah tidak ada yang mengatakan secara pasti. Berkenaan dengan hal tersebut, Ba Makhramah dalam kitab Qalaid An-Nari mengatakan, “Syekh Abdullah bin Muhammad adalah orang yang alim dan shalih. Ia wafat di Tarim, tetapi saya tidak mengetahui secara pasti tentang tanggal wafatnya. Yang saya tahu, Syekh Abdullah bin Muhammad meninggal lebih dulu dari kakaknya, Syekh Nuruddin Ali. Saya memperkirakan, ia meninggal dunia sekitar tahun 620 H atau sebelumnya.

Kedudukan Syekh Abdullah bin Muhammad di Mata Ulama dan Penduduk Hadhramaut

Kedudukan Syekh Abdullah bin Muhammad di mata Ulama Hadhramuat bisa disimak dari pujian yang dilontarkan para ulama atas Syekh Abdullah bin Muhammad, di antara pernyataan ulama Hadhramaut yang menunjukkan keutamaan Syekh Abdullah bin Muhammad di mata ulama dan masyarakat Hadhramaut adalah ungkapan Al-Imam Al-Allamah Syekh Muhammad bin Ahmad bin Abil Hub At-Tarimi, dalam surat yang dilayangkan kepada Syekh Nuruddin Ali sebagai tanda bela sungkawa atas wafatnya Syekh Abdullah bin Muhammad.

Aqidah Bani Jadid

Sengaja kami menyendirikan bab ini dalam akhir sejarah keturunan Bani Jadid, hal yang mendorong kami untuk melakukan hal ini adalah kebutuhan generasi masa kini dari keturunan Imam Muhajir pada zaman sekarang yang dilanda kebingungan dan keraguan dalam masalah aqidah, namun bukan maksud kami untuk merinci masalah akidah serta dalilnya, tapi yang kami maksud dalam bab ini adalah menjelaskan tentang hakikat akidah para ulama salaf (terdahulu), sekaligus menjawab atas tuduhan sebagian orang yang mengatakan bahwa para ulama Alulbait di Hahdramaut menganut aqidah Syiah atau lainnya.
Penulis Ghurarul Baha Adhawi dalam pada halaman 126 dalam kitab tersebut mengatakan, Syekh Al-Faqih Al-Wali As-Syarif Sujauddin Umar bin Abdurrahman yang dimakamkan di Taiz Yaman berkata, “Adapun Asyraf Bani Alawi dan Bani Jadid yang telah kami sebutkan sebelumnya, mereka adalah asyraf yang berhaluan Sunni dan bermadzhab Syafi’i dan pengikut Imam Asy’ari dalam aqidah. Tidak ada keraguan dan perbedaan pendapat dalam hal itu, hal tersebut adalah suatu yang maklum dan jelas tidak perlu diragukan.”

Punahnya Berita Bani Jadid

Salah satu sebab punahnya berita dan peninggalan dari keluarga yang penuh berkah ini adalah keadaan zaman yang penuh dengan peperangan dan pergolakan politik, hingga mengakibatkan raibnya manuskrip-manuskrip yang begitu berharga yang memuat sejarah mereka.

Dalam Kitab Al-Ghurar halaman 124, dikatakan, keluarga Bani Jadid mempunyai sejarah yang terpuji, namun sejarah yang berharga tersebut punah ditelan waktu. Hal tersebut dikarenakan kebiasaan penduduk Hadhramaut pada waktu itu menulis sejarah dan berita dalam bentuk buku catatan harian dan bukan suatu buku yang disusun secara sistematis dan dalam bentuk buku penting.

Punahnya Silsilah Keturunan Bani Jadid

Kitab-kitab sejarah dan sisilah keturunan yang membahas tentang sejarah keturunan Imam Ahmad bin Isa Al-Muhajir mengisyaratkan bahwa Silsilah keturunan Bani Jadid punah pada pertengahan abad ketujuh Hijriah.

Mengenai hal tersebut, penulis Al-Ghurar dalam kitabnya hal 124 mengatakan, “Keturunan Bani Jadid juga sebagai halnya Bani Syekh Basri akhirnya punah. Keturunan Bani Jadid terakhir adalah seorang perempuan bernama Jadidah yang tinggal di kota Zabid, penulis Kitab Al-Yaqut Ats-Samiin menyebutkan 12 orang ulama dan ahli fiqih dari keturunan Bani Jadid yang sejarahnya memenuhi halaman kitab. Adapun peninggalan keluarga Bani Jadid banyak sekali, namun peninggalan sejarah bani Jadid yang begitu banyaka tersebut telah punah kecualli sebuah masjid di pinggiran kota Tarim yang dikenal dengan nama Masjib Brum. Masjid tersebut pertama kali direnovasi As-Syarif Abdullah bin Al-Faqih Ahmad, kemudian direnovasi lagi As-Syarif As-Shalih Syihabuddin bin Ahmad bin Hasan bin Muhammad bin Alawi bin Abdullah bin As-Syekh Abdullah Ba Alawi.

No comments: