Search This Blog


Monday, June 1, 2009

Syeikhah Sulthonah

Riwayat Hidup Syeikhah Sulthonah

Silsilah Keturunan Syeikhah Sulthonah

Syeikhah Sulthonah binti Ali Az-Zubaidiyah keturunan dari keluarga Az-Zubaidi, mereka adalah bagian dari kabilah Bani Haritsah Al-Kindiah, ada juga yang mengatakan mereka dari kabilah Bani Madzhij.

Syeikhah Sulthonah dilahirkan di perkampungan Al-Urro, yaitu dataran yang membentang dari sebelah timur kampung "Maryamah" hingga ujung Hauthoh yang sekarang dikenal dengan "Hautoh Sulthonah", sekitar 3 mil dari kota Seiyun, perkampungan tersebut dihuni oleh kabilah "Az-Zubaidi" salah satu dari kabilah-kabilah Al-Kindiyah, yang terkenal dengan senjata, kekuatan serta keberaniannya.
Syeikhah Sulthonah tumbuh besar dikeluarga baduwi yang kesehariannya akrab dengan menggembala hewan, dengan kepribadian yang kuat serta sifat-sifat lainnya yang terdapat pada diri penduduk baduwi, walau demikian Sulthonah tidak seperti kebanyakan anak-anak sebayanya, dia tenang dan lebih senang menyendiri dari keramaian teman-teman sebayanya yang bersifat kekanak-kanakan, sehingga ketika usianya berangsur dewasa dia mulai tidak menyukai tradisi kehidupan baduwi yang diwarnai dengan kekerasan dan kedzaliman, selain itu dia juga mulai menyelusuri jalan fitrahnya yang menuntunya kepada iman dan membawanya kepada ketenangan jiwa. Susana malam yang sunyi serta perkampungan yang tenang serta cerita penduduk setempat tentang para Sholihin adalah hal yang sangat membantu pencaharian Sulthonah.

Sejalan dengan perkembangan usianya yang semakin dewasa, pencaharian itu pun semakin mendalam, dia mulai melihat kenyataan kehidupan sosial di Hadhramaut, juga mendengar tentang para ahli ibadah, ahli zuhud serta para ulama atqia dan shalihin serta karomah-karomahnya yang menjadi bahan obrolan penduduk setempat, mereka yang ditakuti oleh orang-orang bersenjata karena kekuatan jiwa serta imannya yang mantap, mereka yang disegani oleh semua kalangan, bahkan kekuatan batinnya yang luar biasa bisa menghentikan dan melerai perang antara kabilah tanpa senjata atau bala tentara.

Gadis yang brilian itu terus mengikuti informasi tentang kehidupan para shalihin serta kegiatan dakwah mereka didaerah lembah Hadhramaut, bahkan dia berjalan kaki ke masjid-masjid untuk mendengarkan pengajaran dan petuah dari pari dai yang kebetulan singgah di perkampungannya, hal tersebut membuat tekadnya semakin kuat untuk menempuh jalan tasawwuf dan memenuhi panggilan fitrahnya, petuah dan pelajaran yang ia dengar semakin menggugah hati gadis tersebut sehingga bangkitlah jiwanya untuk melakukan amalan tha'at baik berupa shalat, puasa, ataupun membaca dzikir dan sebagainya yang menjadi aktifitas orang-orang shalihin, bahkan dalam usianya yang masih belia itu hampir seluruh waktu dan pikirannya dia gunakan untuk melakukan amal ibadah dan keta'atan lainnya.

Robiah Hadhramaut

Para penulis sejarah menjuluki Syeikhah Sulthonah sebagai Robiahnya Hadhramaut, dan memang gelar tersebut sangat sesuai dengan hal dan makomnya Syeikhah Sulthonah, karena beliau dari mulai kecil sudah mulai menyelusuri jalan tasawuf, dan dari segi itu dia mengungguli Robiah Al-Adawiyah yang disebutkan dalam buku-buku sejarah Islam, hal tersebut sebagaimana disebutkan oleh Sayid Muhammad bin Ahmad As-Syatiri dalam kitabnya "Al-Adwar", "Dia (Syeikhah Sulthonah) mempunyai kelebihan tersendiri karena dari kecil sudah mulai meniti tangga dan makom-makom tasawuf".

Dalam usia dini Sulthonah sudah mulai melangkahkan kaki menyelusuri jalan tasawuf, dan ia menemukan jalan kesana disetiap tempat di lembah Hadhramaut, walaupun dia dan keluarganya serta kabilahnya tinggal di perkampungan baduy urro, namun tidak jarang para ulama dari Tarim, Seyun, Gurfah, Syibam dan lainya datang kesana guna memberikan wejangan dan petunjuk para penduduk setempat kepada ajaran dan adab Islam, keadaan yang seperti semakin memberikan kesempatan bagi Sulthonah untuk dengan secara diam-diam dia selalu mengikuti dan mendengarkan petuah dan pelajaran dari para alim ulama yang sengaja mendatangi perkampungannya untuk menyebarkan dakwah islamiah, hingga ketekunannya dalam mengikuti dan mendengarkan pelajaran dari para ulama serta pilihannya untuk menelusuri jalan tasawuf kemudian Sulthonah terkenal dikalangan penduduk setempat.

Hal tersebut semakin menakjuban kalau dilihat dari lingkungan dan tabiat masyarakat setempat, masyarakat setempat yang merupakan kabilah-kabilah baduy dikenal akan kecintaan dan penghormatan mereka pada "Alulbait" dan ulama yang datang kekampung mereka untuk menyebarkan ilmu dan dakwah islamiyah, namun walaupun mereka menerima baik para ulama yang datang kekampungnya, bukan berarti mereka menerima dan mempunyai keinginan untuk menerima dan mengikuti ajaran tasawuf, begitupula halnya dengan kaum perempuan, mereka hanya mengenal tradisi dan kebiasaan yang diturunkan dari nenek moyangnya, mereka jauh sekali dari dunia keilmuan apalagi sampai mendalami tasawuf.

Keadaan lingkungan masyrakat dan adat baduy yang akrab dengan senjata dan kekerasan dan jauh dari dunia keilmuan tidak membuat Sulthonah patah semangat, bahkan sebaliknya tantangan yang berat tersebut semakin menggugah semangatnya dalam menyelusuri jalan menuju petunjuk Allah, hal tersebut menjadikan kagum para kerabat dan kabilahnya juga para masyayeh zaman itu, hingga para masyayeh memberikan perhatian khusus kepadanya, berkat semua itu, akhirnya nama Sulthonah dikenal dihampir seluruh Lembah Hadhramaut, para masyayehpun menerima dan mengakui makomnya Sulthonah karena memang Sulthonah, para masyayeh tasawuf dan ulama di Lembah Hadhramaut masa itu mempunyai hubungan yang kuat antar satu dengan yang lainnya dan hubungan mereka berdasarkan husnudzon, dengan kaidah istiqomah dan selalu berdekatan dengan para ulama dan masyayeh. Sulthonah telah mampu membuktikan bahwa dia memilik karakter tersebut, Karena dari kecil dia merupakan anak yang baik dan taat serta giat mengerjakan pekerjaan rumahnya, sebagai anak perempuan dalam keluarga dia menenun, menjahit, beternak ayam, memasak untuk keluarganya dan pekerjaan rumah yang baiasa dikerjakan oleh remaja putri sesusianya, dan disamping itu semua Sulthonah adalah seorang putri yang bertakwa, penyabar, sufi, gemar menunjukan kepada orang lain jalan yang benar, dia juga seorang gadis mempunyai nama baik menjaga harga diri, dibesarkan dilingkungan keluarga berakhlak mulia yang merupakan warisan turun temurun dari kabilahnya.

Bagaimana Anggota Kabilah Sulthonah Bisa Menerima Ajaran Tasawuf?

Sudah menjadi kehendak Allah, bersamaan dengan munculnya Syekhah Sulthonah dalam kancah tasawuf dan mulai menyebarkan ajaran tasawuf kepada masyarakat setempat, terjadilah suatu kejadian yang kemudian menjadikan salah satu sebab terbukanya hati mereka untuk kembali ke jalan Allah SWT, peristiwa tersebut sebagaimana disebutkan dalam "Al-Adwar", bahwa pada suatu waktu sekelompok masyarakat setempat mendapatkan seekor unta yang tersesat, dan mereka mengambilnya sebagai barang rampasan, kemudian diketahui bahwa onta itu ternyata milik Syeh As-Sholih Muhammad bin Hakam Baqosir, setelah beliau tau akan kejadian tersebut maka beliau berdoa didepan orang banyak, agar Allah memberikan mereka (orang-orang yang mengambil untanya) petunjuk ke jalan yang benar yang diridloi oleh Allah SWT kalau hal yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut kebutuhan yang mendesak, atau Allah membalas mereka jika mereka melakukan hal tersebut karena anaiya dan zhalim.
Cara dan sikap Syeh Baqosir dalam menyikapi kejadian itu membuat warga baduy yang polos dengan dicampuri sifat keras dan perampas, tergerak hati nuraninya untuk kembali ke jalan Allah SWT.

Peristiwa tersebut jelas sangat mendukung terhadap dakhwah yang mulai dirintis oleh Syeikhah Sulthonah, bahkan menurut riwayat lain pengaruh dari Syeikhah Sulthonah bukan saja menyadarkan para penduduk baduy tersebut kepada jalan yang diridloi Allah SWT, bahkan lebih dari itu banyak dari anggota keluarga dan kabilahnya yang kemudian menyelusuri jejak langkah Seiyakhah Sulthonah diantara mereka adalah Umar dan Muhammad saudara Syeikhah Sulthonah, sehingga kemudian mereka mengambil langsung dari Syeh Muhammad bin Abdullah Al-qodim Baabbaad dan masyayeh Hadhramaut lainnya.

Guru Syekhah Sulthonah

Setelah Syekhah Sulthonah matang dalam memahami tuntutan fitrahnya dalam lingkungan yang sederhana tersebut, maka semakin kuat pula ajakan dalam jiwanya untuk mengambil tasawuf secara langsung dari para masyayeh. Adapun Syeh pertama yang dituju oleh Sulthonah adalah Al-Allamah Muhammad bin Abdullah Al-qodim Baabbad yang tinggal di kampung Gurfah tidak jauh dari kampungnya Syeikhah Sulthonah, dari Syeikh Al-qodim inilah mulai terbukanya anugerah Allah yang berupa ilmu dan amal baik yang melalui kasab ataupun yang merupakan laduni dan wahbi. Dan diantara kelebihan Syeikhah Sulthonah yang menonjol adalah beliau tidak mau menikah dan bahkan tidak menganggap bahwa nikah itu suatu tujuan, Sulthonah mempunyai tujuan yang luhur daripada hal tersebut yaitu tujuan ruhani yang telah ia pupuk semenjak kecil dengan memperbanyak riadloh dan menyerahkan jiwa sepenuhnya kepada Allah SWT. Keinginan rohani tersebut mengalahkan segalanya dan menambatkan ketetapan akhlak dan cita-cita kejiwaan yang tinggi sehingga segala sesautu yang bersifat duniawi dan berhubungan dengan syahwat dianggap suatu yang remeh walaupun itu halal. Buah dari itu semua adalah bersihnya hati dan jiwa sehingga mudah untuk melakukan amal saholeh, sehingga diriwayatkan Syeikhah Sulthonah termasuk orang yang sering melihat Nabi SAW dalam mimpi.

Begitulah selanjutnya Syeikhah meniti tangga dan menimba tasawuf dari para masyayeh di zaman itu, hal tersebut dilakukannya dengan mendatangi langsung rumah, ataupun mendatangi masjid-masjid guna menimba ilmu dari para masyayeh yang selalu mengisi masjid-masjid tersebut dengan wejangan dan pelajaran. Tentang Syeikhah Sulthonah yang gigih dan pengaruhnya dikalangan masyrakat baduy akhirnya sampai juga kepada para masyayekh di sekitar Hadhramaut, hal yang menjadikan Syeikhah Sulthonah semakin dekat dengan para ulama keturunan Rasulullah SAW, oleh karena itu Sulthonah sangat menyadari akan kewajiban yang ia pikul terhadap para keturunan Rasulullah SAW tersebut, oleh krn itu beliau berkata "Demi keagungan zat Allah yang disembah, kalau misalkan dagingku ini bisa bermanfaat bagimu, maka akan aku korbankan", dia juga berkata disela-sela memberi wejangan kepada masyarakat "Sesungguhnya aku melihat bahwa keluarga Baalawi mempunyai kedudukan diatas manusia lainnya", yakni para wali dan masayekh dari Baalawi mempunyai kedudukan yang lebih daripada yang lainnya.

Adapun masyayekh Baalwi yang mempunyai hubungan dekat dengan Seiykhah Sulthonah adalah Syeikh Abdurrahman Assegaff dan keturunanya, tentang kecintaannya dan penghormatannya kepada keturunan Rasulullah SAW bisa dilihat jelas dalam maqolah yang ditulis oleh Syeikhah Sulthonah tentang betapa dia mengagungkan dan menghormati keturunan Rasulullah SAW dengan tulus dan ikhlas bukan suatu hal yang dibuat-buat atau dipaksakan.

Syeh Abdurrahman Assegaff adalah salah satu masyayeh dari keluarga Baalawi yang sering datang ke perkampungan Sulthonah guna memberi wejangan dan pelajaran kepada masyarakat setempat, kehadiran beliau disana semakin sering setelah menikahi salah satu warga kampung, kehadiran beliau selalu disambut gembira oleh masyarakat disana, mereka selalu memenuhi masjid yang dipake media dakwah oleh para masyayeh, bahkan sebagian masyarakat mendatangi beliau guna menimba ilmu dan barokah, mengenai hal itu Syeikhah Sulthonah berkata : "Apabila Syeh Abdurrahman Assegaff akan mengunjungi kita, maka sebelumnya kampung kita menjadi subur seakan-akan habis tersiram hujan deras, kemudian setelah itu aku mendengar suara berkata "datang kepadamu sultan putranya sultan". Dan dia sendiri yang berkata seperti itu pada hakikatnya adalah sultonah ruhani sebagaiaman perkataan syair :

ملوك على التحقيق ليس لغيهم
من الملك إلا إسمه وعقابه

Artinya : mereka adalah para raja yang sesungguhnya, adapun raja-raja yang lainya hanya mempunyai nama dan gelar saja

Dan mengenai mereka Syekh Abu Madyan berkata :

ما لذة العيش إلا صحبة الفقرا
هم السلاطين والسادات والأمرا

Artinya : kelezatan hidup ini hanya dengan berbaur dengan kaum faqir, mereka adalah para raja dan pemimpin

Mahabbah Syeikhah Sulthonah terhadap Syeh Abdurrahman Assegaf yang begitu kuat, menjadikan Syeikhah Sulthonah mampu membedakan antara alamat kedatangn mereka kepadanya, dalam hal itu Syeikhah Sulthonah berkata : "setiap wali yang dating kepadaku aku mengetahuinya, dan kalau sudah tiba maka dia masuk melalui pintu, kecuali Syeh Abdurrahman Assegaff kalau dia berkunjung kepadaku maka aku tidak mengetahuinya kecuali dia sidah berdiri dihadapanku".

Tafsir tentang perkataan tersebut tidaklah bertentangan dengan mafhum zahir, karena tidak menutup kemungkinan dialam sirrinya Syeikhah Sulthonah telah merasakan adanya madad dan atsar dari para wali yang datang kepadanya, karena para wali mempunyai sirr yang bisa membedakan suatu perkara dari yang lainya, atau dia melihat sesuatu yang berada disekitarnya dengan "nur" Allah, sebagaimana disebutkan dalam atsar "Takutlah engkau akan firasatnya seorang mukmin, karena dia melihat dengan "nur" Allah". Dan tentang hal tersebut Syeikhah Sulthonah berkata :"Setiap wali Allah aku mengenalnya baik banyak ataupun sedikit", dia juga berkata "Sebagian dari para wali itu aku mengetahu halnya, kecuali Syeh Abdurrahman".

Adapun hubungan Syeikhah Sulthonah dengan Syeh Abu Bakar Assakran putra Syeh Abdurrahman Assegaff tidak kalah dekat dan kuatnya dengan hubungan Sulthonah dengan sang ayah, Syeh Abu Bakar Assakran menjadi penerus perjuangan dakwah sang ayah, maka beliaupun seringkali berkunjungi ke perkampungan guna menyebarkan ilmu dan menyampaikan dakwah islamiyah, hal tersebut sebagaimana diterangkan oleh penulis "Al-jauhar As-Syaffaf", : Antara Syeh Abu Bakar Assakran dengan Syeikhah Sulthonah mempunyai hubungan yang erat dan mahabbah yang agung, dan ketika Syeh Abu Bakar Assakran akan berkunjung perkampungannya maka dua atau tiga hari sebelumnya Syeikhah Sulthonah memberi tahukan kepada penduduk setempat dan berkata :"Sambutlah kedatangan sultan putranya sultan, karena aku telah mendengar "Syaawusy" (kemungkinan dari bahasa turki- yang artinya pimpinan pengawal atau pemimpin suatu kelompok, dan yang dimaksud disini adalah sautu bisikan kabar gembira), memberi tahukan kedatangannya, aku juga melihat mahkota kewalian dikepalanya, dan kedatangannya diiringi oleh para malaikat". Dia juga berkata "Sesungguhnya aku selalu mendengar suara annaubah dilangit yang mengumandangkan kepemimpinan Syeh Abu Bakar".

Syeikhah Sulthonah oleh Allah dikaruniai umur panjang sehingga beliau menzamani putranya Syeh Abu Bakar Assakran, sebagaimana dia menghormati dan mengagungkan kakek dan ayahnya Syeikhah Sulthonahpun menghoramti keturunan Syeh Abdurrahman Assegaff tersebut.

Sebagaimana beliau menghormati Syeh Abu Bakar Assakran pada masa hidupnya, bahkan setelah beliau meninggalpun Syeikhah Sulthonah berkata :"ketika Syeh Abu Bakar Assakran meninggal dunia Allah memberinya anugerah yang tak terhingga, dan aku tidak mengetahui seorang wali Allah yang dianugerahi seperti itu kecuali dia dari keluarganya terdahulu", Syeh Sulthonah pun memberikan penghormatan tersebut kepada keturunan Syeh Abdurrahman Assegaf yang datang setelahnya, seperti Syeh Umar Al-Muhdlor dan Syeh Hasan.
Adapun tentang mahabbah dan penghormatan Syeikhah Sulthonah terhadap Sayid Abdullah Alidrus bin Abu Bakar hal tersebut dijelaskan dalam kitab Al-Jauhar As-Syafaf hal 146, "diantara hikayat tersebut adalah tentang seorang laki-laki soleh yang dikenal dengan Bin Abi Abbad dan Sulthonah binti Ali Az-Zubaidi semunya mengagungkan Syeh Abdullah dan menghormatinya atas karunia yang telah dilimpahkan oleh Allah kepadanya, telah berkata sebagian orang yang terpercaya, "Suatu hari saya mendatangi Syeikhah Alarifah billah Sulthonah binti Ali Az-Zubaidi, beliau memuji Syeh Abdullah bin Abu bakar dan mengagungkannya serta menyebutkan sifat-sifatnya, dan setelah itu dia berkata kepadaku :"aku pesen kepada kamu apabila tiba di Tarim maka ciumlah kepalanya (Syeh Abdullah bin Abu Bakar)" ketika aku tiba di Tarim aku menjumpai yang sedang bermain dengan teman sebayanya dan aku melakukan yang dipesankan oleh Syeikhah Sulthonah. Mengenai hal itu penulis Al-Jauhar As-Syafaf mendendangkan sebuah syair :

وبنت الزبيدي كم أشاروا وأفصحوا
بتعظيمه شابا لجزل عطية

Artinya : dan putrinya Az-Zubaidi yang dikatakan bahwa dia mengagungkan seorang pemuda yang dianugerahi karunia yang tak terhingga oleh Allah SWT.

Syeikhah Sulthonah dan Sastra Sufi

Amal taat dan dzikir serta tafakur telah membuahkan suatu ketenangan dalam hati Syeikhah Sulthonah, sejalan dengan firman Allah SWT dalam surat Arra'd ayat 28 yang artinya :"ingatlah tenangnya hati dengan dkrillah", dan setiap sesuatu dalam kehidupan menjadi suatu media untuk mengenal Allah.

وفي كل شيء له آية
تدل على أنه واحد

Artinya : Dalam segala sesuatu tersimpan suatu bukti, yang menunjukan atas keesaan Allah SWT.

Bertolak dari dasar inilah maka dzikir merupakan suatu alat untuk mengasah dzauk dan salah satu untuk memahami kata-kata sastera secara faham sufi. Dan dari dasar ini pula Syeikhah Sultohnah mengungkapkan atas perasaan dan gejolak jiwanya melalui syair sufi, adapun kebanyakan syairnya merupakan sayir mahabbah dan kerinduan kepada Allah SWT, ada juga syairnya yang berupa pujian terhadap guru-gurunya, Syeikhah Sulthonah dalam sayirnya mempunyai ciri khas tersendiri yaitu gaya kesukuan yang memasyarakat serta sayirnya yang berupa sayir nyanyian, dan kebanyakan syair Syekhah Sulthonah tersebut sampai sekarang ini masih selalu didendangkan dalam "Hadlrah Syeikh Assegaff" yang didirkan oleh Syeh Abdurrahman Assegaff di Masjid Assegaff Tarim.

Sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab sejarah bahwa Syeikhah Sulthonah seringkali dating ke Tarim dan duduk dipenghujung kumpulan para hadirin yang menghadiri pengajian Syeh Abdurrahman Assegaff, disana dia mengikuti pengajian dan mendengarkan syair-syair sufi, disamping saling bertukar ilmu pengetahuan dengan para masyayeh disana dan terkadang mengumandangkan syair baik karangannya ataupun sayir karangan orang lain. Dikisahkan dalam suatu kesempatan terjadi perbincangan antara Syeikhah Sulthonah dan Syeh Hasan bin Abdurrahman Assegaff di hadapan ayahandanya Syeh Abdurrahaman Assegaff, ringkasnya dalam pembicaraan tersebut Syeh Hasan mengatakan bahwa tidak sepantasnya unta betina mendahului dan menyamai unta jantan, Syeh Hasan mengungkapkan hal tersebut dengan bentuk sayair

يا ما اسفهش ما بدا بكره تماري جمال

Mendengar perkataan seperti itu Syeikhah Sulthonah meminta izin kepada Syeh Abdurrahman Assegaf untuk menjawabnya, dan Syeh Abdurrahman pun mengizinkannya, maka Syeikhah Sulthonah dengan tidak berpikir panjang menjawabnya dalam bentuk syair juga yang berbunyi :

الحمل بالحمل والزايد لبن والعيال

Dengan bait itu Syeikhah Sulthonah menjawab perkataan Syeh Hasan, bahwa memang dia seorang perempuan tetapi dia sama seperti laki-laki dalam ahwal dam maqomat, bahkan seorang perempuan memiliki kelebihan daripada laki-laki, karena perempuan memiliki sesuatu yang sangat bermanfaat yaitu air susu yang menjadi lambang pendidikan, dan juga memiliki keturunan yang bisa menjaga kelesatarian manusia, dan kedua hal tersebut tidak dimiliki oleh laki-laki, mendengar jawaban dari Syeikhah Sulthonah seperti Syeh Abdurrahman sangat gembira atas jawaban yang tepat dan daya tangkap yang cepat.


Peranan Syeikhah Sulthonah dalam Menyebarkan Ilmu Pengetahuan

Salah satu keistimewaan Madrasah Tasawuf di Hadhramaut adalah selain mendidik para pelajar dengan ilmu pengetahuan dan menggemblengnya dengan akhlak alkarimah para masyaye dan ulama disana selalu menyeru para pelajar untuk meyebarkan dakwah ilallah dan mengajari orang-orang awam serta penduduk diperkampungan dengan bersungguh-sungguh seta media seadanya.

Dan merupakan sauatu hal yang menakjubkan bahwa hingga saat ini metode dakwah tersebut masih seperti itu, dan terkadang para pelajar yang baru mulai pun dituntut untuk menyebarkan dan mempraktekan ilmunya kepada masyarakat setempat, hal tersebut dilakukan oleh para masyayeh di Hadhramaut untuk membiasakan para murid menyambungkan ilmu dengan pengamalan dan juga menyebarkannya.

Dalam lingkungan seperti itulah Sulthonah dilahirkan dan tumbuh dewasa, untuk kemudian ikut andil dalam menyebarkan ilmu dan pengetahuan yang ia dapatkan kepada para sanak kerabat dan kabilahnya.

Setelah melihat dan memahami metode dakwah di Hadhramaut, Syeikhah Sulthonah menyadari bahwa ilmu dan pendidikan bagi generasi mudan serta kaum fakir membutuhkan tempat untuk mereka bernaung maka langkah pertama yang dilakukan oleh Syeikhah Sulthonah mengajak masyarakat setempat untuk membangun ribath disepanjang pinggiran perkampungan kabilahnya, adapun peran dia sendiri atas ribat tersebut adalah sebagai pengawas dan donatur maka tidak lama kemudian pembangunan tersebut selesai, hal tersebut disebutkan dalam buku-buku sejarah namun mereka berbeda pendapat tentang fungsi ribat tersebut, ada yang mengatakan bahwa ribat tersebut disediakan untuk tempat belajar dan sebagai tempat tinggal para pelajar, dan sebagian lagi mengatakan bahwa ribat tersebut berfungsi sebagai penampungan orang-orang fakir dan sebagai tempat tinggal sementara para tamu dan orang asing yang singgah disana.

Namun apapun maksud dari pembangunan ribat tersebut baik untuk para pelajar ataupun orang fakir kedua maksud tersebut sama mulianya, selain itu keadaan masyarakat pada zaman itu memang sangat membutuhkan bangunan tersebut baik untuk para pelajar ataupun untuk orang-orang fakir miskin, maka sesuai dengan tujuan dibangunnya ribat tersebut maka begitu rampung dibangun, ribat tersebut sering digunakan oleh para masyayeh yang datang kesana untuk mengumpulkan penduduk setempat guna mendapatkan pelajaran dan wejangan serta mengadakan halakoh zikir, peninggalan Syeikhah Sulthonah tersebut masih tetap terpelihara dan ramai dengan pengajian dan halakoh zikir hingga beberapa waktu lamanya sepeninggal Syeikhah Sulthonah, tempat tersebut terkenal sebagai lokasi yang aman yang menjadi tujuan orang-orang ketika ada kerusuhan ataupun perang, hal tersebut dikarenakan kedudukan dan wibawa Syeikhah Sulthonah semasa hidupnya, dan bahkan kedudukan dan wibawa tersebut masih dimiliki oleh para masayayeh kerabat Syeikhah Sulthonah dari kabilah Az-Zabidi, yang senantiasa menjaga hubungan baik dengan para masyayeh dari keluarga keturunan Nabi SAW di kota Tarim, Seyun dan sekitarnya.

Akhir Hayat Syeikhah Sulthonah

Semasa hidupnya Syeikhah Sulthonah merupakan jelmaan seorang wanita Hadhramuat yang salihah bertaqwa, dalam dirinya menyatu ilmu dan amal disamping perannya dalam kehidupan social masyarakat yang lurus, memenuhi hak-hak sesama terlebih lagi hak-hak Tuhannya Allah SWT.

Namun dengan kelebihan yang berlapis dan ketenaran yang dimiliki Syeikhah Sulthonah, penulis tidak menemukan kitab yang mengupas secara rinci tentang sejarah kehidupan Syeikhah Sulthonah, kami hanya bisa menemukan sekelumit tentang Syeikhah Sulthonah dalam lembaran kitab sejarah yang berbeda, namun demikian mungkin cukup dalam menggambarkan kehidupan Syeikhah Sulthonah dan perannya baik dalam dakwah maupun kehidupan sosial apa yang disebutkan oleh Ustadz As-Syatiri dalam Al-Adwar, bahwasanya Syeikhah Sulthonah mempunyai peran penting dalam memperbaiki kehidupan sosial masyarakat di lingkungannya hingga mampu mengangkat derajat kaum dan negerinya.

Sejalan dengan kata-kata syair :

ولو كان النساء كمن ذكرنا
لفضلت النساء على الرجال

Artinya : jika semua perempuan seperti yang kami sebutkan (seperti Syeikhah Sulthonah) maka semestinya kaum hawa tersebut lebih unggul daripada kaum laki-laki.

Disamping itu semua Syeikhah Sulthonah telah mampu membuktikan bahwa ajaran tasawuf di Hadhramaut, bukanlah ajaran yang mengajak untuk mengucilkan diri serta khumul atau pun menjadikan seorang biksu yang terputus dari kehidupan dunia, tasawuf adalah suatu ajaran yang mengajak manusia menuju kemuliaan dan kesucian serta mengajak manusia untuk berperan aktif dalam menyebarkan ajaran islam dan menegakan syariatnya dalam kehidupan nyata di masyarakat, dan hal tersebut bukan hanya terbuka bagi kaum laki-laki tetapi perempuan punya peran penting dalam hal itu, dan hal itu bukanlah hanya suatu perkataan belaka, karena sepeninggal Syeikhah Sulthonah munculah Sulthonah-Slthonah lainnya di Hadhramaut.

Adapun wafatnya Syeikhah Sulthonah adalah pada tahun 843 H, dan beliau dimakamkan dikampungnya setelah diringi oleh para pelayat yang tak terhingga jumlahnya, dan sampai sekarang makamnya masih terjaga dan ramai di ziarahi.

Penutup

Biografi yang telah kami sebutkan tadi merupakan salah satu contoh tentang kaum perempuan pada zaman itu disamping mewakili ajaran tasawuf yang lurus dalam madrasah yang menyatukan anatara ilmu dan amal, antara iman dan tawakkal serta melakukan usaha.

Dan dalam madrasah salaf perempuan memiliki tempat dan kedudukan sebagaiaman kaum laki-laki, hal mana telah dibuktikan oleh seorang wanita muslimah yang dilahirkan diperkampungan baduy namun melalui madrasah Alulbait wanita itupun menjadi seorang tauladan bagi kaumnya, dan yang menjadi dalam kehidupan wanita sahliah pada zaman itu adalah taqwa dan melakukan kewajiban dunia dan akhirat, bukan khumul yang tercela ataupun mengasingkan diri kecuali dari hal-hal yang jelek dan orang-orang yang berbuat kejelekan, dan dengan semua kaidah kehidupan itulah mereka mampu menciptakan suatu kehidupan bermasyarakat yang pantas untuk dijadikan tauladan

No comments: